Sering kita temukan suatu sekolah cenderung "lari di tempat", tanpa kemajuan yang berarti, prestasinya biasa-biasa saja. Walau berbagai upaya telah dilakukan untuk mendongkrak kemampuan dan pengetahuan gurunya karena mental mereka yang masih bermasalah.
Mari kita lihat karakteristik mereka, karena kemajuan berawal dari sini.
Pertama, guru pecundang adalah konotasi golongan paling buruk. Prilaku mereka tidak disukai oleh siswa, orang tua, teman sejawat dan masyarakat sekitar.
Ia pandai memainkan perangai, dan sembunyi dari kesalahan. Terkadang prestasi siswa yang kurang dan keterbatasan kemampuannya dalam mengajar selalu ditutupi dan selalu memberikan laporan baik kepada atasanya (kepala sekolah).
Guru ini cenderung malas, pemarah, dan egois. Ia jarang membuat latihan soal untuk siswanya, memberikan PR (pekerjaan rumah), memeriksa soal, tidak mau belajar pengetahuan baru dan anti kritik serta sering membuat masalah di sekolah. Jika ditegur karena terlambat masuk, lantas marah dan boikot mengajar. Jika diberi tugas atasan, mangkir dan pandai mencari alibi.
Guru pecundang tidak pernah mengoptimalkan kesempatan sehingga berimbas pada pencapaian hasil yang tidak pernah maksimal. Prestasinya cenderung turun hari demi hari, berakibat pada siswa yang diajarnya. Mereka bosan karena tak ada tantangan, sikap pecundang menurun, tak heran jika ditemui prilaku siswa yang mencontek, malas belajar dan cenderung menyukai permainan atau malas masuk sekolah.
Ironisnya guru ini sering membebankan pekerjaan pada guru lain untuk menutupi ketidakmampuannya.
Kedua, guru statis adalah guru yang cenderung tetap, karirnya mulus-mulus aja dan nyaris tidak ada tantangan sama sekali. Golongan ini selalu memandang kesempatan sama dengan hasil yang dicapai. Ia mengajarkan kepada siswa sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan Dinas Pendidikan, mengerjakan sebatas yang disuruh oleh kepala sekolah, tidak mau bertanya dan cenderung diam dengan kesibukannya.
Karenanya guru ini cenderung jawabatannya itu-itu saja, kalau sebagai wali kelas, ya tetap wali kelas walau puluhan tahun telah berlalu. Guru ya sebatas guru saja, tanpa inisiatif melakukan perubahan. Golongan ini biasanya memandang pekerjaan adalah segalanya, karena tanggungan besar untuk menghidupi keluarganya, tuntutan ekonomi atau permasalahan lain sehingga ia tidak berani mengambil risiko.
Untuk siswa yang nalarnya terbatas akan cenderung senang karena mereka berhadapan pada pelajaran itu-itu saja tanpa tantangan. Potensi siswa yang punya kemampuan lebih terhambat karena gurunya tidak pernah memberikan informasi aktual dan kontemporer mengenai metode belajar sesuai perkembangan jaman.
Bagi guru jenis ini, ia tidak turut campur terhadap persoalan sekolah apalagi guru lain yang kerap menuntut perbaikan kesejahteraan atau peningkatan skill dari sekolah. Baginya apa yang telah diberikan sekolah yang terbaik bagi dirinya dan karenanya tidak perlu komentar.
Ketiga, guru pemenang atau visioner adalah mereka yang memandang tantangan sebagai peluang dan bukan lagi berharap hasil semata sebagai tujuan hidupnya. Golongan ini senantiasa mencoba dan berbenah, baginya tidak ada sesuatu yang tak mungkin. Dan tanpa takut melakukannya.
Guru ini sangat peduli terhadap sekolah dan lingkungan sekitar, permasalahan siswa adalah urusannya. Masalah guru adalah urusannya dan persoalan negara bahkan dunia adalah urusannya. Ia sangat menggemari kerja keras dan tantangan.
Mereka kritis terhadap permasalahan, mengungkapkan dan memberikan solusi tanpa takut kepada dampak yang timbul sesudahnya.
Bagi siswa, mereka sangat senang dengan guru yang visioner, sehingga memacu semangatnya untuk belajar dan berprestasi di sekolah dan di manapun.
"Juara olimpiade tingkat nasional dan internasional," bukanlah sesuatu yang menakutkan bagi guru jenis ini. Ia yakin dengan target yang dibebankan padanya, percaya diri kemampuannya dan terus berupaya mengejar ketertinggalan, memperbaiki pola pelajar, berlatih menambah wawasannya.
Lantas bagaimana dengan kita, haruskah menjadi guru pecundang atau statis?
Karenanya mulailah menanam dan melaih jiwa merdeka dalam benak kita. Tidak merasa takut atau gentar terhadap beban kerja atau orang lain yang senantiasa memberi tekanan
Pertama, guru pecundang adalah konotasi golongan paling buruk. Prilaku mereka tidak disukai oleh siswa, orang tua, teman sejawat dan masyarakat sekitar.
Ia pandai memainkan perangai, dan sembunyi dari kesalahan. Terkadang prestasi siswa yang kurang dan keterbatasan kemampuannya dalam mengajar selalu ditutupi dan selalu memberikan laporan baik kepada atasanya (kepala sekolah).
Guru ini cenderung malas, pemarah, dan egois. Ia jarang membuat latihan soal untuk siswanya, memberikan PR (pekerjaan rumah), memeriksa soal, tidak mau belajar pengetahuan baru dan anti kritik serta sering membuat masalah di sekolah. Jika ditegur karena terlambat masuk, lantas marah dan boikot mengajar. Jika diberi tugas atasan, mangkir dan pandai mencari alibi.
Guru pecundang tidak pernah mengoptimalkan kesempatan sehingga berimbas pada pencapaian hasil yang tidak pernah maksimal. Prestasinya cenderung turun hari demi hari, berakibat pada siswa yang diajarnya. Mereka bosan karena tak ada tantangan, sikap pecundang menurun, tak heran jika ditemui prilaku siswa yang mencontek, malas belajar dan cenderung menyukai permainan atau malas masuk sekolah.
Ironisnya guru ini sering membebankan pekerjaan pada guru lain untuk menutupi ketidakmampuannya.
Kedua, guru statis adalah guru yang cenderung tetap, karirnya mulus-mulus aja dan nyaris tidak ada tantangan sama sekali. Golongan ini selalu memandang kesempatan sama dengan hasil yang dicapai. Ia mengajarkan kepada siswa sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan Dinas Pendidikan, mengerjakan sebatas yang disuruh oleh kepala sekolah, tidak mau bertanya dan cenderung diam dengan kesibukannya.
Karenanya guru ini cenderung jawabatannya itu-itu saja, kalau sebagai wali kelas, ya tetap wali kelas walau puluhan tahun telah berlalu. Guru ya sebatas guru saja, tanpa inisiatif melakukan perubahan. Golongan ini biasanya memandang pekerjaan adalah segalanya, karena tanggungan besar untuk menghidupi keluarganya, tuntutan ekonomi atau permasalahan lain sehingga ia tidak berani mengambil risiko.
Untuk siswa yang nalarnya terbatas akan cenderung senang karena mereka berhadapan pada pelajaran itu-itu saja tanpa tantangan. Potensi siswa yang punya kemampuan lebih terhambat karena gurunya tidak pernah memberikan informasi aktual dan kontemporer mengenai metode belajar sesuai perkembangan jaman.
Bagi guru jenis ini, ia tidak turut campur terhadap persoalan sekolah apalagi guru lain yang kerap menuntut perbaikan kesejahteraan atau peningkatan skill dari sekolah. Baginya apa yang telah diberikan sekolah yang terbaik bagi dirinya dan karenanya tidak perlu komentar.
Ketiga, guru pemenang atau visioner adalah mereka yang memandang tantangan sebagai peluang dan bukan lagi berharap hasil semata sebagai tujuan hidupnya. Golongan ini senantiasa mencoba dan berbenah, baginya tidak ada sesuatu yang tak mungkin. Dan tanpa takut melakukannya.
Guru ini sangat peduli terhadap sekolah dan lingkungan sekitar, permasalahan siswa adalah urusannya. Masalah guru adalah urusannya dan persoalan negara bahkan dunia adalah urusannya. Ia sangat menggemari kerja keras dan tantangan.
Mereka kritis terhadap permasalahan, mengungkapkan dan memberikan solusi tanpa takut kepada dampak yang timbul sesudahnya.
Bagi siswa, mereka sangat senang dengan guru yang visioner, sehingga memacu semangatnya untuk belajar dan berprestasi di sekolah dan di manapun.
"Juara olimpiade tingkat nasional dan internasional," bukanlah sesuatu yang menakutkan bagi guru jenis ini. Ia yakin dengan target yang dibebankan padanya, percaya diri kemampuannya dan terus berupaya mengejar ketertinggalan, memperbaiki pola pelajar, berlatih menambah wawasannya.
Lantas bagaimana dengan kita, haruskah menjadi guru pecundang atau statis?
Karenanya mulailah menanam dan melaih jiwa merdeka dalam benak kita. Tidak merasa takut atau gentar terhadap beban kerja atau orang lain yang senantiasa memberi tekanan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar